Teori Keterikatan

Journey Toward SelfOutward Attention

Oleh Stefanie Faye

Sewaktu kecil, mana yang lebih berarti bagi Anda? Rasa terlindungi dan punya ikatan yang kuat dengan orang sekitar? Atau justru kebebasan bereksplorasi untuk memahami diri sendiri dan menguasai lingkungan Anda?  

Saya masih jelas mengingat betapa hangatnya rasa dekat dengan orang-orang tercinta, tapi di saat yang sama, tak bisa dilupakan juga kenangan manis saat bebas mengeksplorasi dunia sendiri. Ada kebanggaan tersendiri dalam setiap langkah mandiri itu, dimana dengan kesadaran saya bisa menentukan jalan hidup sendiri.

Kedua kebutuhan mendasar inilah, yaitu kebutuhan akan keamanan emosional dan kebebasan bereksplorasi, yang menjadi pilar utama dari Teori Keterikatan (Attachment Theory). Dinamika antara kedekatan dan kemandirian inilah yang kemudian menjadi penggerak utama di balik berbagai perilaku manusia.  

Apa itu teori Keterikatan?

Keterikatan bukan sekadar teori, melainkan mekanisme neurofisiologis bawaan yang tertanam dalam sistem operasi manusia. Secara fundamental, keterikatan adalah respons adaptif biologis untuk mempertahankan kedekatan dengan figur utama, sekaligus mekanisme pengaturan diri dalam relasi. Paradoksnya, justru melalui pengaturan bersama inilah kita kemudian berkembang mencapai kemandirian yang lebih matang.

Inti dari Paradoks Keterikatan terletak pada ketergantungan timbal balik antara dua kebutuhan dasar: rasa aman dan kebebasan. Tanpa dasar keamanan emosional, atau perasaan terlindungi dan didukung oleh figur keterikatan, dimana kapasitas eksplorasi kita akan terhambat. Sebaliknya, tanpa ruang untuk mengembangkan identitas mandiri melalui eksplorasi, kita justru melemahkan agensi diri dan terjebak dalam ketergantungan yang tidak sehat dalam relasi sosial.

Sebagai makhluk sosial, manusia menjalin keterikatan melalui dua dimensi inti, yaitu keintiman untuk membangun koneksi emosional dan kemerdekaan untuk mempertahankan identitas otonom. Di satu sisi, sebagai mamalia, kita secara biologis membutuhkan orang lain untuk koregulasi sistem saraf. Di sisi lain, sebagai individu yang mampu mengatur diri, kita justru memerlukan kemandirian untuk mengaktifkan mekanisme pengaturan diri internal.

Perkembangan otak manusia menjadikan anak-anak bergantung pada pengasuh untuk membantu mengatur emosi dan stres mereka, khususnya dalam situasi yang menekan. Ketika pengasuh tidak responsif terhadap kebutuhan emosional anak, atau gagal menyesuaikan diri dengan kondisi psikologis anak, hal ini dapat membentuk pola keterikatan tidak aman yang terbawa hingga hubungan dewasa.

Pola Keterikatan

Meski tampak kontradiktif, landasan keterikatan yang aman di masa kecil justru menjadi batu loncatan menuju kemandirian. Kehadiran pengasuh yang responsif secara emosional, selalu tersedia, dan mampu menjadi tempat "berlabuh" saat kesulitan, berfungsi sebagai sistem pendukung bagi regulasi saraf yang belum matang. Dukungan eksternal ini memungkinkan anak belajar mentolerir berbagai emosi dan situasi, hingga akhirnya otak dan sistem tubuhnya berkembang cukup matang untuk mengatur diri sendiri dan berelasi dengan beragam orang (Harvard Center on the Developing Child).  

Gangguan dalam pola keterikatan awal dapat membentuk cara kita berelasi sepanjang hidup, termasuk dalam hubungan dewasa. Namun berkat neuroplastisitas otak, khususnya di area yang terkait pengaturan diri, kita masih memiliki kapasitas untuk mengembangkan pola keterikatan yang lebih aman melalui usaha sadar dan intervensi yang tepat.  

Keterikatan yang aman membentuk kemampuan adaptif untuk: (1) menyadari pengalaman internal secara penuh, (2) mengidentifikasi dan mengartikulasikan kebutuhan emosional, serta (3) mengelola dinamika hubungan dengan kematangan. Pola ini menciptakan kerangka kerja psikologis dimana individu mampu secara proaktif mengenali sensasi emosional, menyampaikannya secara jelas, meminta dukungan ketika diperlukan, dan melakukan regulasi diri yang efektif dalam berbagai situasi relasional.  

Proses alami manusia dalam menyeimbangkan kebutuhan akan kedekatan dan kebebasan seringkali menjadi tantangan universal. Kenyataannya, karena kondisi awal kehidupan dan pengalaman perkembangan setiap individu berbeda, di luar kendali pribadi, sebagian besar orang di dunia menghadapi kesulitan dalam menguasai seni koregulasi dengan orang lain sekaligus regulasi diri yang sehat.

Baik pada anak-anak maupun orang dewasa, banyak yang memiliki pola keterikatan yang menyulitkan pencapaian keseimbangan ideal antara kebersamaan dan kemandirian. Kenyataannya, sebagai manusia kita memiliki kebutuhan ganda, dimana kita harus mampu mengatur diri sendiri, tetapi sebagai makhluk sosial kita juga membutuhkan hubungan yang aman untuk membantu memulihkan dan menyeimbangkan diri. Ini adalah bagian dari sistem biologis kita yang alami, didorong oleh hormon seperti oksitosin yang mendorong kita untuk terhubung dengan orang lain. Pada intinya, semua hubungan manusia adalah proses terus-menerus untuk menemukan titik seimbang antara kedekatan dan kebebasan, antara kebutuhan akan dukungan dan kemandirian pribadi, yang mencerminkan sebuah tarian kompleks yang kita semua jalani sepanjang hidup.

Ini bukan soal memilih salah satu, keterhubungan atau kemandirian, melainkan memahami pentingnya keduanya. Dengan kesadaran ini, kita bisa menciptakan "pelabuhan aman" bersama orang-orang tepercaya; tempat kita bisa kembali saat mengeksplorasi otonomi dan tujuan kita. Prinsip ini berlaku sama bagi anak-anak maupun dewasa. Dalam tarian hubungan yang sehat, ada fase untuk keintiman dan kebersamaan, juga ruang untuk pertumbuhan individual. Ritme alami inilah yang justru mengembangkan kekuatan internal, empati, kemandirian, dan penguasaan diri.

Dewan Ilmiah Nasional untuk Perkembangan Anak (2015). Hubungan yang Mendukung dan Pembangunan Keterampilan Aktif untuk Memperkuat Fondasi Ketahanan: Makalah Kerja No. 13. Diakses dari www.developingchild.harvard.edu.  

Artikel ini ditulis oleh Stefanie Faye, seorang pakar independen yang berkolaborasi dengan CheckIt Labs, Inc., menyumbangkan perspektif mendalam seputar topik ini berdasarkan keahlian praktisnya.  

Authors Profile Image

Dr. Stefanie Faye

Neuroscience Specialist
See All Articles

Stefanie has a degree from New York University and her fieldwork focused on neuroplasticity, empathy and emotion regulation. She has worked as a neuroscience consultant for many global organizations and as a school and family counselor, cognitive trainer, reading therapist, research analyst, coordinator of learning programs.